Sebuah Cerpen



Karna Aku Lebih Takut dengan-MU
Oleh : Retno suprihatiningsih
            Aku adalah mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di kotaku. Satu minggu yang lalu aku baru saja melaksanakan ujian akhir semester. Jum’at, 2 Januari 2015 lalu tepatnya tiga hari sebelum UAS tiba, kebetulan jam mata kuliah di kelasku kosong. Teman-temanku mengadakan rapat. Aku menanggapinya cuek. Namun betapa terkejutnya aku saat mendengar apa yang mereka rencanakan. “Teman-teman, Senin besok kan ujian, gimana kalau kita semua bekerjasama. Aku yakin tidak ada yang ingin tidak lulus kan?’’, ujar Fahri di depan kelas.
            “Ya, aku setuju”, seru sebagian teman yang lain. “Tunggu-tunggu tapi kita semua harus benar-benar kompak. Jangan ada yang nggak ikut !”, sambung Somat.
            “Eh semuanya, kita buat perjanjian aja yuk. Gimana kalau ada yang berkhianat kita musuhi aja, kalau perlu kita kroyok dia rame-rame. Gimana teman-teman, kalian setuju ?”, tambah Bahrul.
            “Ya, benar. Aku setuju banget. Lagian tega banget sih. Memangnya nggak kasihan kalau ada yang nggak lulus’’, ujar Bayu dengan emosi.
            “Oke-oke aku setuju”, ujar temaan-teman yang lain.
            “Nah, kan udah setuju nihh.. sekarang ayo kita kumpul lagi. Ayo buat rencana trik-trik yang akan kita gunakan !”, perintah Fahri.
            Mereka lalu menggerombol merencanakan sesuatu. Aku yang dari tadi diam dengan cueknya terbeku di bangkuku. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Hatiku penuh dengan amarah dan kekecewaan. Namun tubuhku lemah tak berdaya. Ingin rasanya akau berlari keluar kelas yang berisi para pendusta itu, aku seperti ditakdirkan untuk menjadi saksi bisu atas rencana buruk mereka.
            “Ya Allah, apa yang seharusnya hamba lakukan? Kenapa teman-temanku menjadi buta hati seperti itu. Tidakkah mereka tahu bahwa apa yang mereka rencanakan sangat engkau benci. Tidakkah mereka takut kepada-Mu? Ya Allah lindungilah hamba dari godaan meraka”, hatiku terus meronta-ronta meminta perlindungan-Nya. Kelas ini menjadi semakin gaduh karena setiap anak berlumba-lomba mengeluarkan pendapatnya.
            “Diam… Diam… diam semuanya !”, sentak Fahri.
            Aku terbelalak dan kaget. Hatiku berdetak semakin kencang. Dengan berbisik Fahri menjelaskan strategi yang akan mereka gunakan besok saat UAS. Anak-anak yang lain pun terdiam mendengarkan apa yang Fahri jelaskan. Aku yang sembari tadi duduk tak begitu mendengar apa yang Ia katakan. Selesai mereka berdiskusi tampak diantara mereka kembali ke tempat duduknya masing-masing.
            Aku memperhatikan sekelilingku, tidak sedikit dari teman-temanku yang menangis. Mereka bukan mengangisi perbuatannya namun mereka menangis karena takut tidak lulus. Hatiku menjadi iba. Sempat aku berfikir untuk mendekati mereka, namun “Tidak…!”, hati kecilku menolak.             Berat sekali rasanya. Namun aku harus bertahan. Aku sayang kepada mereka namun aku juga tidak ingin mengkhianati mereka. Aku tahu meski mereka akan menganggapku sombong. Aku sadar, aku bukanlah anak yang pintar, aku juga bukan yang terbaik di antara mereka. Namun akau yakin Allah akan memberi hasil yang terbaik untukku jika aku melakukannya dengan baik pula. Bila aku gagal dan aku harus mengulangnya, itu adalah keputusan Allah. Keputusan-Nya tidak pernah salah. Aku Yakin itu.
            Tiba-tiba Fahri maju kedepan kelas dan berkata “teman-temanku buat kalian yang biasanya pelit untuk berbagi jawaban, kali ini saja aku mohon benget hilangkan sifat pelit kalian, please !”
            “Ya, teman-teman ini demi kita semua. Sekarang coba kita pikir, sudah setengah tahun ini kita bersama. Aku sadar memang pertengkaran seringkali hadir di antara kita. Tapi apa kita tidak sedih jika melihat salah satu teman kita ada yang gagal dan harus mengulang. Apa kita tega ? Pikir deh ! Kalau sukses satu sukses semua”, dukung Bahrul.
            “Teman-teman, aku minta maaf kalau selama ini ada diantara kalian yang sakit hati gara-gara  aku, aku mohon maaf teman-teman. Tolong ya jangan pelit. Kita bekerjasama.”, tambah Santi dengan wajah basah karena air mata.
            Suasana menjadi semakin tidak menyenangkan, haru bercampur tegang. Teman yang lain menjadi ikut-ikutan bersuara.
            “Ahhh… sekarang saja kalian bilang begitu. Semua bilang setuju. Tapi aku yakin , pasti salah satu dintara kita ada yang berkhianat. Pasti ada yang nggak setuju. Ya nggak !”, celetus Bunga sambil melirik wajahku sinis. Aku menjadi seperti terdakwa.
            “Sel, besok kamu jangan egois. Memangnya kamu mau hidup sendiri. Hidup itu harus tolong-menolong”, bisik Reni teman sebangkuku. Semua teman-temanku semaki memojokkanku. Perasaanku semakin tak karuan.
            “Ahhh… sudah sudah kita sudahi. Ayo kita pulang musyawarah kita sudah selesai”, ajak Fahri mengakhiri pertemuan buruk ini.
            Ah akhirnya berakhir juga. Kata-kata Fahri tadi seolah-oleh bisa membuka kerongkonganku untuk bernafas. Aku segera menarik sahabatku Mey keluar kelas.
            “Mey, gimana ?”, tanyaku sambil menangis terisak-isak.
            “Ayanya yang gimana, Sel ?”, rupanya Mey tak mengerti maksudku.
            “Mey, sungguh tak mungkin aku bekerjasama dalam UAS nanti. Bukan karena aku egois dan tidak kasihan pada teman-teman, tapi aku lebih takut pada Allah. Kau tahu kan Mey ? Allah Maha Melihat, Dia tidak pernah tidur. UAS adalah benih yang menentukan kelulusan tinggat kita. Apa bila benih itu kita kotori dengan cara yang haram, apa akan menghasilkan buah yang baik ? Apa gunanya kita belajar selama ini. Apa gunanya kita berdoa kepada Allah jika akhirnya melakukan kecurangan. Lagi pula apabila kita ketahuan mencontek akan berakibat buruk bagi kampus ini. Dosen pasti akan merah besar. Mey, aku bingung. Disatu sisi aku tak ingin dimusuhi oleh teman-teman karena pelit tak meu member contekan. Namun disisi lain aku tak mungkin mendustai Allah”, terangku.
            “Sel, aku juga bingung. Tapi mau bagaimana lagi ?”, ujar Mey beriring isak tangis.
            Senin, 5 Januari 2015 akhirnya hari yang dinanti telah tiba. Rasa deg-degan mendekap jantungku. Rasa ingin menangis dan marah pun ada. Semua rasa berkecambuk menjadi satu tak karuan. Sempat rasa was-was menggoda hatiku.
            “Ya, Allah, jangn biarkan kejahatan itu meraja”, pinta hatiku.
            “Dearr”, aku terkejut
            “Pagi-pagi udah melamun aja nih”, tegur Sri mengagetkanku sambil berlalu di depan kelas.
            “Sri, tunggu !”
            “Aku minta maaf ya”, kataku
            “Minta maaf buat apa ?”, Tanya Sri sedikit heran.
            “Aaa… Aku minta maaf soalnya aku tak mungki memberikan contekan disaat UAS nanti”, jawabku
            “Karena aku lebih takut pada Allah”, tambahku.
            “Ahh….. Serli tenang saja tak usahlah kau meminta maaf, lagian aku juga tak mau mencontek kok”, terang Sri. Aku sedikit lega mendengar pernyataan Sri.
            Saat Ujian berlangsung betapa hatiku takkan pilu melihat teman temanku berebut jawaban. Dengan jelas mataku melihat kecurangan mereka. Aku benar-benar seperti ditakdirkan untuk menjadi saksi semua ini. Namun aku tetap tak bisa berbuat apa-apa. Aku cuek dan tetap mengerjakan satu demi satu soal ini semampuku. Aku yakin Allah pasti akan memberikan hasil yang terbaik untukku.
            Selama satu minggu berlangsung begitulah yang aku saksikan. Aku sedikit heran. Hati teman-temanku benar-benar sudah keruh. Apa mereka tak merasa bersalah dengan semua orang. Apa mereka tak taku kepada Allah yang Maha Mengetahui. Apa mereka tak merasa bersalah kepada orang tua mereka yang telah membiayai mereka kuliah. Sedangkan yang mereka lakukan adalah membuat kecurangan.
            Ujian memang telah berakhir, namun ujian imanku belum berakhir. Kemari pagi Dosen mengumumkan hasil ujian dan hasilnya aku hanya salah satu soal dari 10 soal yang harus dikerjakan. Aku terkejut mengetahuai hail ujianku. Dengan bersimpuh air mata aku bersimpuh memanjatkan syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih. Namun tiba-tiba “Sel, kamu tidak boleh egois begitu. Liat dong tema-temanmu mereka sedang bersedih. Kamu tega baget sih, senang diatas penderitaan orang lain”, tegur Oman. Aku tersentak.
            Kulihat sekelilingku. Tampak wajah-wajah temanku basah kuyup air mata menangisi hasil ujian mereka. Aku terdiam. Sedikit merenungkan apa yang terjadi. Ya, Allah sungguh besar kuasa-Mu. Inikah bencana yang kau berikan ? Ya, Allah sadarkanlah mereka dengan musibah ini. Hatiku semakin yakin akan kebesaran dan kuasa-Mu.
            Pandanganku kini terbeku melihat sosok yang begitu akrab denganku. Ya, dialah Mey. Tampak di mataku dia tengah menangis di pojok kelas ditemani Sri. Aku berjalan mendekatinya.
            “Mey, kamu kenapa ?, tanyaku dengan lembut, namu Mey tak menjawab.
            “Mey, aku tahu kamu sahabatku yang baik. Aku lihat saat ujian kemari kamu tak ikut mencontek. Jadi aku yakin, Allah pasti bijaksana. Percayalah Allah pasti member hasil terbaik untukmu”, kataku menghiburnya.
            “Ser, kamu jangan memujiku begitu”, Mey mulai berkata-kata.
            “Aku tidak sedang memujimu, tetapi aku sedang bicara kenyataan Mey”, bantahku.
            “Mey, Sri dengar baik-baik. Hasil ujian kita adalah keputusan Allah. Dan kalian harus percaya bahwa keputusan Allah pasti yang terbaik dan tidak pernah salah. Tidak apa-apa di dunia kita gagal namun kita bahagia di akhirat. Tetap jaga iman kita karena masih ada hari esok yang perlu kita pertanggungjawabkan. Kebahagiaan di akhirat lebih penting, karena itu adalah kebahagiaan abadi yang sesungguhnya. Kalau kalian telah berusaha sekuat tenaga dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Allah pasti akan member yang terbaik juga”, kataku panjang lebar.
            Siang itu teman-temanku yang lain memandangku sinis, menatapku penuh kebencian. Perasaanku tidak karuan. “Ya, Allah tolong aku. Lindungi aku dari mereka, kata-kata itu berkali-kali ku ucapkan.
            Semenjak hari itu rasa kesal membalut hatiku. Tidak ada rasa sesal sedikitpun meski teman-temanku menjauhiku. Aku justru bersyukur dan bangga karena aku tidak buta hati seperti mereka.

Komentar

Postingan Populer