KU UNGKAPKAN DENGAN INDAH
Oleh Retno Suprihatiningsih
Di saat seperti ini, di hari mereka
kehilangan Amelia selamanya. Aku belum bahagia, aku berharap ibu akan
menyayangiku setelah ini. Namun yang keluar dari mulutnya adalah penyesalanm
karena bukan aku yang mati.
“Aku juga berharap, aku yang mati…….
Bukan Amelia”, gumamku dalam hati.
“Alisya tahu, ibu tidak mengharapkan
kehadiran Alisya. Segala bakat yang dimiliki Alisya selama ini tidak cukup
membuat ibu bahagia dan bangga. Bahkan untuk mengucapkan selamat dan memandang
wajahku dengan penuh bangga pun tidak pernah, itu semua hanya mimpi. Ah, betapa
aku ingin ibu memperhatikanku, menasihatiku, memarahiku. Tapi ibu selalu
bersikap dingin padaku. Ia enggan tersenyum. Cuek kepadaku. Tidak pernah
menegurku jika aku salah. Tidak peduli saat aku sakit, sedih, dan kecewa. Tidak
merasa senang saat aku bahagia. Hingga aku menyadari betapa bencinya ibu
kepadaku”
“Alisya, ibu tak bernmaksud
begitu..”
Alisya memalingkan wajahnya yang
basah oleh air mata dan beranjak pergi. Kini hatinya bemar-benar hancur.
***
Katanya kasih sayang ibu sepanjang
masa. Benarkah ? sejak kecil aku selalu merasa ibu membenciku. Ibu tidak pernah
marah padaku. Tapi ibu tidak pernah memperhatikanku. Apa yang aku lakukan,
bagaimana perasaanku. Ibu sama sekali tidak pernah mengetahuinya. Ibu tak
peduli. Bahkan ketika aku sakit, hanya Amelia adikku dan Bi Ijah, pembantuku
yang merawatku. Ketika aku mendapatkan nilai jelek di sekolah, ibu tidak pernah
marah, bahkan ibu tidak pernah menanyakan bagaimana nilaiku di sekolah. Bagiku,
ini lebih menyakitkan daripada harus dimarahi dan dipukul oleh ibu.
Ibu selalu membelikan segalanya
untuk Amelia adikku, tapi tidak untukku kecuali barang-barang kebutuhanku.
Meski Amelia selalu membagi untukku. Tapi bukan itu yang aku inginkan. Pelukan
dan kasih sayang ibu. Hanya itu yang aku inginkan. Namun yang aku rasakan lukaku
semakin hari semakin lebar dan tak
tertahankan.
Hingga saat Amelia meninggal karena
kecelakaan bersamaku. Ibu terus-menerus menyalahkanku dan menyesali kejadian
itu. Aku tidak kuat menahan sakit ini. Aku tidak tahan lagi. Kesabaranku selam
ini sudah lebih dari cukup. Aku tak ingin lagi terluka kerana sikap ibuku. Aku
kemas barang-barangku dan pergi tak kembali lagi.
“Apakah masih benar ? kasih sayang
anak sepanjang galah. Namun aku tak percaya lagi bahwa kasih sayang ibu
sepanjang masa!”, gumamku kesal.
***
Ketika membuka mataku, tubuh ini
terasa lemas setelah operasi. Aku melirik wajah seseorang yang beberapa tahun
ini mememaniku dan mencintaiku. Wibowo. Suamiku.
“Donornya….”, kataku nyaris
berbisik.
“Alhamdulillah, kita dapat donor
hati tanpa biaya”, kata Wibowo. Namun aku melihat raut yang berbeda ketika
suamiku mengatakan itu “Bahkan pendonor yang telah meninggal dua hari yang lau
memang mengkhususkan hatinya untukmu”
“Bagaimana bisa begitu”
Wibowo menyentuh perutku dan
mengelus-elusnya tepat pada bagian hati yang dicangkok. “Hati ini, adalah hati
ibumu”
“Ibu?”, aku seolah tak percaya.
“Tidak mungkin!”
“Sayang, alasan ibumu selalu
mengacuhkanmu bukan karena ia membencimu tetapi karena ia membenci dirinya
sendiri. Ketika mengandungmu, karena suatu alasan ia ingin menggugurkanmu,
namun gagal. Sejak saat itu ia tidak sanggup lagi melihatmu, ibu sangat merasa
bersalah. Ibu tak pernah memaafkan dirinya sendiri yang telah membuatmu
mendetita Alisya..”
“Tidak mungkin ….! Ibu..!” derai air
mata menetes di pipi Alisya karena tak kuat menahan kecewa dan penyesalan.
“Melalui Amelia dan Bi Ijah, ibu
memperhatikanmu. Bi Ijah sendiri yang cerita kepadaku. Pada waktu itu ibu
berpikir jika suatu saat kamu mengetahui kenyataan ini, kamu akan lebih sakit
hati jika ibu membiarkan diri mencintaimu”
Aku tak kuasa menahan tangis.
Suamiku memelukku erat. Luka ini karena kesalahanku sendiri yang tak pernah
memahami ibu. Kenyataan bahwa ibu sangat mencintai dan menyayangiku sangat
menyakitkan hati. Ditambah ia yang mendonorkan hatinya untukku dan ia telah
tiada.
Ingin sekali aku memutar waktu, tapi
itu mustahil. Sejak kejadian itu aku lebih instropeksi diri.
Pengalaman-pengalaman hidupku aku tulis dalam sebuah novel motivasi untuk
remaja agar lebih menghormati orang tuanya terutama ibu. Hampir setiap hari
sejak ibu meninggal aku menulis sebuah puisi sebagai ungkapan rinduku
padanya. Hanya dengan sebuah karya aku
merasa sakit ini perlahan terobati.
“Semua
orang berhak untuk berekspresi. Semua orang mempunyai kesempatan untuk berkarya.
Semua orang bisa saja mencari alasan untuk bersastra, sama seperti dia bisa mencari alasan untuk tidak melakukan
apa-apa. Semua adalah pilihan kita. Semoga Allah membalas semuanya.
Alhamdulillahi rabbil’aalamiin”
Komentar
Posting Komentar